Minggu, 22 Februari 2009

Memahami Sejarah Bangsa Melalui Uang


JAKARTA—Uang bukan sekadar alat tukar, tetapi juga cermin dari puncak-puncak peradaban dari suatu entitas politik dan budaya tertentu yang hidup pada kurun waktu tertentu pula. Dengan demikian, uang sangatlah multifungsi. Ketika cara memperoleh dan menggunakan uang sudah melanggar semua norma, orang pun mengatakan uang bukan segalanya. Can’t buy me love, kata band legendaris asal Inggris The Beatles.

Namun, seperti tersirat dalam keseluruhan lirik lagu tadi, uang mempermudah semua urusan, termasuk urusan bercinta. Ketika peradaban ekonomi sudah memasuki tahap virtual (virtual economy), uang pun menjadi komoditas bisnis.

Seperti sudah disinggung, berbagai jenis uang juga menjadi cerminan perkembangan peradaban dari bangsa. Dengan membaca perkembangan mata uang, kita dapat menceritakan bagaimana kondisi sebuah bangsa dan seluruh perjalanan peradabannya.

Perjalanan sejarah Indonesia pun dapat dilihat pada uang. Yang pertama mengenal uang adalah kerajaan Djenggala, sekitar 856-1158 Masehi (dari abad ke-9 hingga abad ke-12). Pada abad VII, diketahui pada awalnya uang dibuat dari bahan perak, berbentuk setengah bulat.

Pada sisi mukanya terdapat ukiran jambangan dan kepulan asap. Pada bagian sisi belakang, terdapat ukiran bunga padma di tengah dalam sebuah bingkai.

Selain bentuk setengah bulat, ada pula uang yang berbentuk segi empat dan berbentuk kancing yang bagian sisi mukanya terdapat ukiran huruf Jawa Kuno.

Pada zaman Djenggala di Kediri yang dikenal sebagai kerajaan tertua di Pulau Jawa, uang disebut Krishnala. Uang itu terbuat dari perak dan perunggu. Pada zaman Majapahit uang dikenal dengan sebutan Gobog, yang menyerupai Gobog Cina. Bentuknya bulat pipih dan pada bagian tengahnya berlubang segi empat. Pada umumnya, Gobog memiliki ukiran binatang, wayang, dan relief yang menggambarkan cerita rakyat pada masa itu.

Selain itu masih banyak lagi di Kerajaan Banten, terdapat uang yang menyerupai uang Gobog di Majapahit. Di Kerajaan Sumenep uang disebut Real Batu. Diperkirakan jenis uang ini berasal dari mata uang kerajaan Spanyol tapi dimodifikasi dengan memberi semacam stempel berupa huruf Arab ”Soemenep”, ”Angka” atau ”Bunga mawar”.

Di Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan, uang Dinar yang terbuat dari emas dikenal pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin (sekitar abad XVII). Dinar mirip dengan Derham Aceh. Di Banjarmasin disebut dengan Doewit dan beredar sekitar tahun 1812, terbuta dari dari tembaga.

Uang yang diterbitkan oleh Kerajaan Buton, berbeda dengan uang yang dikeluarkan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, karena tidak menggunakan logam, melainkan kain yang ditenun sendiri oleh puteri raja. Uang Buton populer dengan sebutan Kampua atau Bida.

Nilai tukar Kampua atau Bida ditentukan oleh Menteri Besar Kerajaan (semacam Perdana menteri) yakni setiap satu butir telur, bisa ditukar dengan uang kain yang lebarnya 4 jari dan panjangnya seukuran tapak tangan Menteri Besar yang bersangkutan. Maka banyak Kampua/Bida yang ukurannya berbeda-beda. Corak Kampua atau Bida setiap tahun diubah, agar tak mudah dipalsukan. Padahal sanksi bagi pemalsu uang ini sangat berat yaitu hukuman mati.Masih banyak lagi uang yang beredar di bumi Nusantara yang memiliki corak dan sejarah bangsa Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, kita juga temukan cerita tentang bagaimana Indonesia dipimpin Presiden Soekarno, bagaimana setiap daerah menerbitkan uang sendiri. Selain itu gambaran krisis ekonomi pada tahun 1960-an sehingga dilakukan pemotongan nilai uang atau sanering.


Numismatik

Semua bentuk dan jenis dan cerita uang kuno yang sudah tidak laku tersebut dapat dijumpai di Museum Artha Suaka yang ada di Bank Indonesia. Museum ini sebenarnya sudah ada sejak 25 tahun yang lalu, namun baru dibuka untuk umum pada Senin (25/8) kemarin. Bahkan Menurut Ketua Panitia Eksibisi Koleksi Museum Artha Suaka Lucky Fathul, pameran uang ini akan diselenggarakan di berbagai kota besar di Indonesia seperti Medan Surabaya dan Makassar. Museum Artha Suaka memiliki koleksi 90 ribu bilyet uang kertas dan 360 ribu keping uang logam.

Adalah Markus Sajogo seorang kolektor uang antik dari Surabaya, mengatakan, dari setiap mata uang, dapat diketahui perjuangan bangsa. Sejak zaman kerajaan nusantara sampai Negara Indonesia, selalu ada tema yang disesuaikan kondisi saat itu. Hewan misalnya, saat pemerintah Indonesia mencanangkan untuk melestarikan hewan, maka disosialisasikan melalui uang. Selain itu masih ada lagi gambar kerajinan tangan pembangunan lalu sampai dengan perikanan dan maritim dan sebagainya.

“Kalau seorang numismatik sejati, tentunya akan memahami seberapa sulit perjuangan rupiah,” ungkap Markus.

Sekelompok orang yang mempelajari, dan mengkoleksi uang yang sudah tidak laku, sebagai alat tukar, dan benda berharga lain seperiti medali dan penghargaan lainya disebut sebagai Numismatis. Sedangkan ilmunya bernama Numismatik.

Para pengegemar numismatik di Surabaya yaitu Perekuin,yaitu Perkumpulan Edukasi dan Kolektor Uang Indonesia sedangkan di Jakarta ada PPKMU. Dalam kesempatan pameran money fari yang ada di BI ini para penggemar numismatic akan membentuk suatu wadah, ANI (Asosiasi Numismatika Indonesia).

“Orang-orang penggemar numismatik ini, gemar untuk mengumpulkan uang yang tidak laku lagi namun memiliki nilai yang sangat tinggi dan mempunyai kecintaan yang besar, kata Markus. Menurut dia, hal ini perlu ditularkan kepada generasi berikutnya.

Markus yang mengaku bukan ahli sejarah maupun ahli moneter, tapi memahami betul bagaimana karakteristik setiap uang kuno, kapan diterbitkan, pembuatanya kapan, bagaimana sejarah seputar penerbitan uang tersebut.

Yang paling menarik bagi kolektor uang dari Jawa Timur ini adalah uang Probolinggo. Menurut dia, uang Probolinggo memiliki keistimewaan yang luar biasa. “Uang Probolinggo itu sangat langka, padahal hanya selambar kertas putih, black and white, dan one side. Nilainya … miliar. Padahal nilai nominalnya 200 golden pada waktu itu,” katanya.

Sejarahnya menurut Markus, pada waktu itu, seluruh Kabupaten Probolinggo dijual oleh Belanda kepada seorang Kapten kapal dari Cina. Kapten dari Cina itu berhak untuk mengurus seluruh perbudakan, untuk menarik pajak, menjalankan kekuasaan polisi, termasuk mencetak uang diperbolehkan pada waktu itu pada tahun 1811. Uang Probolinggo yang tertulis dalam Bahasa Belanda, Arab dan Cina tersebut, semacam obligasi pada masa sekarang.


Setelah Merdeka

Setelah Indonesia Merdeka, sebelum pengedaran uang dilakukan oleh BI, yang mengeluarkan uang adalah pemerintah yaitu Menteri Keuangan. Uang Indonesia yang pertama kali ditandatangani oleh Menteri Keuangan Mohammad Hatta, pada tahun 1948. Bank Indonesia (BI) baru mengeluarkan uang pada tahun 1952, dan mulai diedarkan pada tahun 1953.

Yang pertama tersebut lebih dikenal dengan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Menurut kolektor uang langka sejak 20 tahu lalu itu, ada beberapa seri ORI yang cukup langka, tetapi yang lainnya dilihat secara fisik kurang bagus. Tetapi ada sebagian yang bahkan belum sempat beredar nilainya saat ini sangat tinggi sekali, seperti ORI Rp 600 one side yang tidak sempat beredar, selain itu masih ada ORI yang tergolong langka yaitu ORI Rp 75.

Juga ada dipamerkan ORIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah), yang diterbitkan di Bukittinggi, Surakarta, Aceh Timur dll. Uang-uang itu ada yang mirip karcis parkir pada saat itu. Seorang mantan direktur BI, yang kebetulan menyaksikan uang ini, berkata sambil tersenyum. “Ada di Aceh Timur waktu uang itu dikeluarkan. Waktu dikeluarkan kursnya 1:1 dengan dolar AS, pada akhir bulan sudah jadi 1: 100. Lalu kita buat uang baru lagi. Jadi tidak ada moneter-moneteran,” ujarnya. Uang ORIDA dikeluarkan oleh pihak militer Indonesia pada 1947 demi menutupi kelangkaan alat pembayaran pada waktu itu.

ORIDA mungkin sangat mudah dipalsukan, namun para penggemar numismatis biasanya memiliki indra keenam untuk mengenali keaslian uang. Biarpun cetakan uang palsu bahkan lebih baik dari yang asli, biasanya seorang nimismatis akan menganali dengan mudah mana yang asli dan mana yang palsu.

Pemasuan sendiri sejak jaman dahulu memang sudah ada namun tidak segencar saat ini. “Saya bukan ahli moneter maupun sejarah, tapi ini hobby yang dapat menghilangkan stress, menghilangkan tekanan-tekanan batin.”setiap kali saya membuka album koleksi saya, saya selalu terkenang dengan masa lalu,” kata Markus .

Dia mengaku kenal dan hafal betul uang asli Indonesia, karena mencintai, bahkan pernah ikut lelang ke Belanda. Di sana, penggemar uang Indonesia tidak hanya orang Indonesia itu sendiri, tetapi banyak kolektor, dari Belanda, Canada, Amerika, Spanyol dan Portugis.Di Belanda ada balai lelang khusus untuk mata uang, yang disebut Loren Schulman di kota Bessum, Belanda. Meski hanya mengoleksi uang beredar di bumi nusantara ini, saat ini Markus memiliki lebih dari seribu koleksi uang yang pernah beredar di nusantara. (SH/syamsul ashar)

(Sumber: Sinar Harapan, Selasa, 26 Agustus 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perlengkapan Numismatik

Perlengkapan Numismatik

Rupiah dan ORI

Buku Palmistri dan Fisiognomi

Buku Astrologi dan Feng Shui

Buku Numerologi, Grafologi, dan Frenologi

Buku Arkeologi dan Prasejarah

Kontak Saya

Nama :
Email :
Subjek :
Pesan :
Tulis Ini :