Mas kenapa kok orang China banyak sekali di Indonesia? tanya Rahmaningrum (34), istri Puji Harsono (46). Pertanyaan sederhana itu membuat penggemar koin tua ini terusik. Apalagi ketika berkeliling, Puji menemukan ada banyak koin China di hampir seluruh daerah di Indonesia.
KOIN-KOIN itu ia simpan dan koleksi. Kini koleksinya sudah hampir satu ton atau sekitar 300.000 keping. Dari koleksi itu, ia makin tertarik mendalami sejarah China di Indonesia. "Mumpung saya punya koinnya, tahu sejarahnya, dan masih bersemangat meneliti," ujar Puji.
Ia memiliki obsesi tak hanya mengungkap kapan orang China datang ke Indonesia dan kapan China menyebarkan Islam di Indonesia. Puji memiliki koin China dari dinasti Sebelum Masehi sampai tahun 1900-an. Koin-koin itu sebagian besar 90 persen ia dapatkan dari Jawa Timur. Sisanya, 9,9 persen dari Jawa Tengah dan 0,1 persen dari Jawa Barat.
"Saya tak tahu kenapa di Jawa Barat hanya ditemukan sedikit koin China. Padahal, di sana ada Banten yang menjadi pusat perdagangan," ujar Puji. Ia menduga koin-koin China di Jawa Barat masih terpendam jauh dalam tanah karena tertimbun lahar saat gunung merapi di daerah itu meletus hebat. "Buktinya, candi di Cicalengka saja baru ditemukan sekarang," kata Puji.
Sementara itu, di Jawa Timur-yang memilih pelabuhan sebagai pintu gerbang perdagangan dengan bangsa lain-koin China mudah ditemukan di goa-goa atau dari galian tanah para petani.
Puji yang berdomisili di Bandung itu mengatakan, sebenarnya untuk penelitian itu, ia ingin sekali meneruskan kuliah di S2 Sejarah, sayangnya di Universitas Padjadjaran tak ada program S2 untuk sejarah.
Menemukan uang kuno baru selalu membuatnya bergairah untuk meneliti. Ia rajin memburu buku yang memuat sejarah uang di arsip nasional, perpustakaan-perpustakaan, bahkan ke luar negeri. Salah satu sumber yang banyak membantunya adalah sebuah catatan dari China tentang Indonesia. Buku itu sudah diterjemahkan dalam bahasa Belanda dan Inggris. "Untungnya catatan sejarah tentang segala sesuatu yang terjadi 1.600 Setelah Masehi masih bisa ditemukan," kata Puji.
Karena cintanya pada uang juga, Puji mempelajari berbagai huruf dan bahasa asing. Jangan heran kalau ia begitu fasih membaca angka-angka yang ditulis dalam huruf Arab, China, dan Jawa Kuno.
"Tetapi, khusus untuk angka dan huruf China, saya hanya menghafal karakternya saja. Tetapi, saya tak bisa berbahasa China. Bahasa Arab, saya bisa sedikit karena pernah belajar waktu sekolah. Tetapi, saya suka Arab Melayu. Tulisannya lebih bagus," katanya.
Sampai saat ini, menurut Puji, jarang ada orang meneliti uang. Itu sebabnya tak banyak orang mengetahui sejarah uang yang beredar di Indonesia. Maka, lelaki beretnis China yang beristri orang Melayu ini bercita-cita membagikan pengetahuannya tentang alat tukar kepada masyarakat luas. Salah satu jalan yang ditempuhnya adalah melakukan pameran bertajuk Bandung Filanum 2004 di Gedung Pasarbaru, Bandung, pada 23-27 September 2004.
Acara ini diselenggarakan oleh Asosiasi Numismatik Indonesia (ANI), Indonesian Topical Association, Perkumpulan Filatelis Indonesia. Di ANI, Puji menjabat sebagai wakil ketua.
Filanum singkatan dari filateli dan numismatika. Filateli adalah pengumpulan prangko dan benda pos lainnya. Sedangkan numismatika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang koin, token, uang kertas, dan alat tukar lainnya, juga medali.
Bandung Filanum 2004 tidak memamerkan uang dan alat tukar lainnya dengan informasi mini, tetapi juga menuliskan sejarah uang tersebut. Rasanya, orang awan yang jarang mengetahui sejarah uang akan membelalakkan mata ketika melihat koleksi dan membaca sejarahnya.
Anda mungkin sering mengganti kata rupiah menjadi perak. Misalnya, saat mengatakan, "Saya cuma punya uang 500 perak." Pernahkah Anda bertanya kenapa harus diganti perak? Kenapa tidak emas?
Pada tahun 1892, Belanda mengeluarkan uang koin dari perak seharga 1 gulden. Satu gulden berarti satu perak atau satu rupiah. Mungkin dilatarbelakangi hal itu, kata Puji Harsono, istilah perak masih dipakai hingga sekarang. Kata pengganti lainnya, seperti ringgit (2,5 gulden), juga masih dikenal. Namun, ukan (0,5 gulden), setalen (1/4 gulden), dan ketit (1/10 gulden) mungkin tidak lagi terdengar.
Tidak hanya itu, istilah duit, uang, dan dokat sebetulnya sudah digunakan sebagai nama uang ratusan tahun lalu. Di zaman pendudukan Belanda pernah beredar uang Doit (1821) dan Doit VOC Utrecht (1790). Kata uang bisa jadi berasal dari penyebutan nama koin Wang Keteng tahun 1809.
Tahun 1700-an juga dikenal ducaton. Satu dukat bernilai 240 doit atau 300 sen. Mungkin juga kata dokat berasal dari ducaton atau ukuran uangnya dukat. Tak cuma itu, Anda juga mungkin belum pernah melihat uang terbuat dari bambu pipih seperti gagang es krim.
Uang itu adalah token atau mata uang yang beredar hanya di wilayah tertentu. Token dari bambu itu hanya beredar di perkebunan Tjirohani, Sukabumi. Di bagian muka dan belakangnya ditulisi acht 8. Nilainya 8 sen. Token ini dibuat sekitar tahun 1870 sampai 1885.
Salah satu alasan token ini dibuat adalah untuk mencegah para buruh perkebunan kabur dari perkebunan setelah mendapat upah. Karena selain di wilayah perkebunan, uang bambu itu tak bisa digunakan di wilayah lain.
Ada juga uang dari kain tenun dari Kerajaan Buton, Sulawesi. Uang sepanjang telapak tangan dengan lebar empat jari seorang menteri besar itu beredar sekitar tahun 1597 hingga 1940. Ukuran uang ini selalu berubah tergantung pada panjang pendeknya menteri besar yang menjabat saat itu. Setiap menteri besar berganti, token kain pun berubah.
Puji mengoleksi koin-koin kuno dari dalam dan luar negeri yang pernah beredar di Indonesia. Perdagangan di masa lalu juga mengenal pertukaran uang. Orang China atau orang dari luar tanah Jawa menukarkan uangnya di money changer. (Y09)
(Sumber: Kompas, Jumat, 24 September 2004)
saya berharap semoga koin-koin china nggak selamanya dihargai kiloan.
BalasHapus