Sabtu, 07 November 2009

Sejarah Perkembangan Mata Uang Indonesia


Oleh: Puji Harsono

Numismatis, tinggal di Bandung

Berbicara tentang perkembangan mata uang yang dulu pernah berlaku di wilayah Nusantara, maka ditinjau dari kepemilikan mata uang tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok :

  1. Mata uang atau koin-koin asli buatan lokal, yang dicetak oleh kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah tertentu di wilayah Indonesia.
  2. Mata uang yang dimasukkan oleh orang-orang asing, baik pedagang maupun pemerintahan asing yang bertindak sebagai penjajah atau penguasa wilayah Nusantara, untuk dipakai sebagai alat tukar yang sah di wilayah Indonesia. Termasuk juga mata uang yang dicetak di Jawa oleh orang-orang asing tersebut di atas, untuk diedarkan di wilayah Nusantara.

Berdasarkan zamannya, perkembangan mata uang Indonesia dapat dibagi dalam beberapa periode :

1. ZAMAN KERAJAAN HINDU-BUDDHA (850-1300)
  • Kerajaan Mataram Syailendra
  • Kerajaan Daha/Jenggala & Majapahit

2. ZAMAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM
  • Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
  • Kerajaan-kerajaan di Sumatera (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi)
  • Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Maluka)
  • Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa, Buton)

3. ZAMAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
  • Perdagangan dengan Cina (850-1900)
  • Perdagangan dengan VOC (1602-1799)
  • Emergency Coins atau koin-koin darurat

4. ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA, PERANCIS, INGGRIS (1800-1945)
  • Pendudukan Hindia Belanda (1800–1942)
  • Pendudukan Perancis (1806-1811)
  • Pendudukan Inggris (1811-1816)
  • British East India Company di Sumatera
  • Token-token Perkebunan dan Pertambangan
  • Mata uang lainnya

5. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)

6. ZAMAN PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (1945 - ---)


1. ZAMAN KERAJAAN HINDU BUDDHA (850–1300 Masehi)

A. Kerajaan Mataram Syailendra

Mata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal :
  • Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
  • Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
  • Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak
Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram).

Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Devanagari “Ta”. Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan “Sesame Seed”.

Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.

Kerajaan Syailendra akhirnya meluaskan wilayahnya hingga ke daerah-daerah Jawa Timur, dimana pelabuhan-pelabuhannya seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya, banyak didatangi para pedagang dari manca negara. Jawa Timur dengan pelabuhan-pelabuhannya merupakan daerah maritim, akhirnya semakin maju dibandingkan dengan kerajaan induknya di Jawa Tengah yang merupakan daerah agraris.

Pada zaman Dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi), orang-orang Cina mulai berdatangan ke tanah Jawa untuk melakukan perdagangan. Mereka membawa dan memperkenalkan mata uangnya yang disebut Cash atau Caixa, Cassie, Pitje, atau orang Jawa menyebutnya Kepeng atau Gobok, dengan ciri khas terdapat lubang persegi di tengah. Koin-koin Cina ini lambat laun dapat diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran.

Pada kira-kira tahun 928 Masehi, Gunung Merapi meletus dahsyat, yang mengakibatkan rusaknya hampir seluruh sendi-sendi perekonomian kerajaan. Karena alasan itu, di samping semakin majunya daerah Jawa Timur, maka pada 929 diputuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Nantinya Raja Mpu Sendok membagi wilayah Jawa Timur menjadi dua untuk dibagikan kepada dua orang anaknya, menjadi wilayah Daha dan Jenggala.


B. Kerajaan Daha/Jenggala dan Majapahit

Pada zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm.

Pada waktu itu uang kepeng Cina datang begitu besar, sehingga saking banyaknya jumlah yang beredar, akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara total fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.

Adapun alasan-alasan dari penggantian fungsi ini adalah :
  • ukuran koin emas dan perak lokal terlalu kecil, sehingga mudah jatuh atau hilang. Sedangkan uang kepeng Cina mempunyai lubang di tengah, direnteng dengan tali sebanyak 200 keping, sehingga praktis dibawa ke mana-mana dan tidak mudah hilang.
  • koin emas dan perak lokal adalah mata uang dalam pecahan besar, sedangkan koin-koin kepeng berfungsi sebagai uang kecil atau uang receh, yang sangat dibutuhkan dalam perdagangan. Nilai tukar untuk 1 Masa perak berharga 400 buah Chien. Pada akhir abad ke-9, dengan 4 Masa perak saja bisa membeli seekor kambing.

Sebenarnya koin-koin emas dan perak yang sudah mengalami perubahan bentuk adalah produk dari Daha dan Jenggala. Namun karena Kerajaan Majapahit (1293-1528) pada waktu itu merupakan kerajaan besar di Asia Tenggara, maka biasanya orang menamainya sebagai uang Majapahit. Padahal sejak akhir abad ke-13, mata uang “resmi” yang dipakai sebagai alat pembayaran adalah koin-koin kepeng Chien.

Namun pada zaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dengan lubang tengah karena pengaruh dari koin cash dari Cina, ataupun koin-koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang sehingga disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528), Banten di Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.


2. ZAMAN KERAJAAAN-KERAJAAN ISLAM

A. Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)

Mata-uang dari KESULTANAN BANTEN pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini.

Mata-uang dari KESULTANAN CIREBON dibuat sekitar 1710/1760, saat berkuasa Sultan Sepuh. Koin dengan bahan dari timah dengan lubang di tengah itu, pada bagian muka tertulis inskripsi : “Cheribon”.

Berbeda dengan koin-koin Banten dan Cirebon, KESULTANAN SUMENEP di Pulau Madura tidak mencetak mata uangnya sendiri. Mata uangnya diambil dari koin-koin asing (di luar Sumenep), dengan diberi “Countermarked” (cetak tindih). Koin-koin yang digunakan adalah koin-koin Austria, Belanda, Java Rupee, Mexico (Real Bundar), (Real Batu/Cob), dll. Sedangkan cetak tindih yang dipakai, ada beberapa jenis seperti “Bintang Madura”, dengan tulisan Arab “Sumenep”, atau “cap dengan lima kelopak daun”. Koin-koin dengan cetak tindih ini dibuat pada saat bertakhtanya Sultan Paku Nata Ningrat (1811-1854) di Kesultanan Sumenep.


B. Kerajaan-kerajaan di Sumatera (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi)

Mata uang emas dari KERAJAAN PASAI untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.

Setelah Pasai berhasil ditaklukkan oleh KERAJAAN ACEH pada 1524, sultan-sultan Aceh tetap mengikuti tradisi dari kerajaan Pasai dalam pembuatan mata uangnya. Namun uang Dirham Aceh berdiameter lebih besar, antara 12–14 mm. Pada bagian belakangnya terdapat tulisan Arab “as-Sultan al-adil”, yang artinya Sultan yang adil. Aceh juga membuat mata uang dari timah/timbal, yang disebut “Keueh”, dengan nilai satu Mas sama dengan 400 Keueh.

Kerajaan Aceh pernah memiliki empat Ratu yang memerintah secara berturut selama 60 tahun, dari 1641-1699. Yang pertama adalah Sultanah Safiat ad-Din, anak dari Sultan Iskandar Thani yang meninggal pada 1641. Karena tidak mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuannya yang berkuasa sampai dengan 1675. Sultanah Nur al-Alam Naqiat ad-Din Syah Ratu Aceh yang kedua, yang memerintah pada 1675-1678. Penggantinya adalah Sultanah Inayat Syah Zakiat ad-Din Syah yang memerintah pada 1678-1688. Terakhir adalah Sultanah Kamalat Syah. Beliau memegang kekuasaan atas wilayah Aceh pada 1688-1699. Masing-masing ratu tersebut juga mencetak mata uangnya.

Mata uang dari KERAJAAN PALEMBANG dapat dibedakan antara yang mempunyai lubang di tengah, yang disebut dengan pitis “Picis Tebok” (Tebok dalam dialek Palembang berarti “Lubang”). Ada juga yang tidak mempunyai lubang yang disebut dengan “Picis Buntu”.

Picis Palembang dapat dibedakan juga antara yang bertahun dan yang tidak bertahun. Semua mata uangnya terbuat dari timah, kecuali koin yang bertahun AH 1198 (tahun 1774/75 Masehi), ada terbuat dari tembaga merah dan dari timah (berdasarkan temuan terbaru).

KERAJAAN JAMBI di Sumatera juga membuat mata uang picis dari timah. Salah satu koinnya ada yang berbentuk Oktagonal (segi 8), dengan tulisan “Sultan Anom Sri Ingalaga”. Ia mulai memerintah pada 21 Februari 1743.


C. Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Maluka)

KESULTANAN PONTIANAK mulai didirikan pada 1770, oleh seorang pedagang keturunan Arab bernama Abdul Rahman Alkadrie. Periode pencetakan koin-koin dari kesultanan di Kalimantan Barat ini berkisar tahun 1790-1817.

Koin-koin dari KESULTANAN BANJARMASIN pada umumnya merupakan imitasi dari koin-koin Duit VOC, yang dicetak sewaktu bertakhtanya Sultan Tamjid Illah III (1785-1808). Koin-koinnya mempunyai lambang VOC dan bertahun AH 1221.

Sebenarnya di Kalimantan masih ada satu kerajaan lagi yang jarang diketahui umum, yaitu KERAJAAN MALUKA. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Raja Putih yang bernama Alexander Hare, seorang petualang bangsa Inggris. Pada mulanya, Hare pada tahun 1812 diberi suatu wilayah kekuasaan oleh Sultan Banjarmasin, dengan kedudukan sebagai Residen. Namun tak lama memerintah, ia segera memperluas wilayah kekuasaannya, dengan membentuk koloni sendiri yang bernama Maluka. Hare mencetak mata uangnya sendiri sebagai mata uang yang sah untuk peredaran di wilayah Maluka, dan juga mendatangkan banyak tenaga kerja dari Jawa yang bekerja sebagai kuli-kuli di pertambangan batu bara. Namun masa pemerintahan Hare di Banjarmasin terhitung tidak terlalu lama, yakni dua tahun saja. Setelah kejatuhan VOC pada tahun 1799, Belanda mulai “mengambil alih” daerah-daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dan pada tahun 1816, pemerintahan Hindia Belanda berhasil menghancurkan koloni Maluka, serta mengusir Hare dari wilayah kekuasaannya.


D. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa & Buton)

Mata uang dari KERAJAAN GOWA di Sulawesi Selatan disebut dengan “Dinara”, yang terbuat dari emas. Sultan Alauddin Awwalul Islam yang memerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1593-1639, adalah sultan Gowa pertama yang beralih ke agama Islam. Sultan Hasanuddin, yang memerintah pada tahun 1653-1669, dengan gelarnya “I Mallombasi Muhammad Bakir Dg Mattawang Krg. Bontomangape”. Dengan kekalahannya melawan Belanda, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya tanggal 18 November 1667. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa wilayah Minahasa, Butung dan Sumbawa yang tadinya termasuk dalam wilayah Kesultanan Gowa harus diserahkan kepada VOC. Dan semua pedagang-pedagang Eropa selain dari VOC, dilarang untuk melakukan perdagangan di wilayah bagian timur tersebut.

KERAJAAN BUTON di Sulawesi Tenggara, mempunyai bentuk mata uang unik yang terbuat dari kain. Mata uang ini dinamakan “Kampua”. Menurut legendanya, Kampua diciptakan pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona, yang memerintah sekitar abad XIV.

Proses pembuatan dan peredaran Kampua, mandat sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Besar atau yang disebut ‘Bonto Ogena’. Dialah yang akan melakukan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Pengawasan oleh ‘Bonto Ogena’ juga diperlukan agar tidak timbul pemalsuan-pemalsuan, sehingga hampir setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu diubah-ubah.

Adapun standar pemotongan kain Kampua adalah dengan mengukur panjang dan lebar Kampua, dengan cara: ukuran empat jari untuk lebarnya, dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan, untuk panjangnya. Sedangkan tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Menteri Besar atau ‘Bonto Ogena’ itu sendiri.

Pada awal pembuatannya, standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu ‘bida’ (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira-kira tahun 1851, fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang-uang buatan “Kompeni”. Nantinya nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 sen duit tembaga, atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 sen saja! Walaupun demikian, Kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton sampai 1940.


3. ZAMAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Dalam penggolongan zaman perdagangan internasional ini sebenarnya bukan hanya orang-orang Cina dan VOC (Belanda) yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang paling dominan dalam melakukan perdagangan di Jawa. Dan dari mata uang Cash Cina dan mata-uang “kompeni” inilah yang telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi sejarah dan perkembangan numismatik di Indonesia.

A. Perdagangan dengan Cina (850-1900)

Pada awalnya, pedagang-pedagang Cina mulai banyak masuk ke tanah Jawa kira-kira pada zaman dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi). Mereka dengan jung-jungnya (kapal Cina), mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, seperti Tuban, Gresik dan Surabaya. Pada waktu itu Jawa Timur terkenal dengan produksi ladanya. Dalam melakukan perdagangannya, orang-orang Cina memperkenalkan dan menggunakan koin-koin tembaga yang disebut dengan “Chien” atau “Cash”, yang akhirnya diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran. Zaman Dinasti Sung di Cina (960-1279) adalah puncak-puncaknya dimana banyak sekali orang-orang Cina yang datang ke Jawa untuk berdagang, sambil membawa uang-uang kepengnya dalam jumlah besar.

Ma Huan, seorang Islam sebagai juru tulis Laksamana Cheng Ho, mencatat keadaan pada tahun 1405. Dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” yang terbit tahun 1416, dikatakan bahwa :
“Koin-koin Cina dari berbagai dinasti umum digunakan disini”….. “Dalam melakukan transaksi, pembayarannya memakai koin-koin cash tembaga Cina dari berbagai dinasti”…. “Orang-orang di sini (Jawa Timur) sangat senang dengan porselin-porselin Cina dengan motif hijau bunga, kain sutera, manik-manik dll. Mereka membelinya dengan uang-uang cash”….

Karena uang Chien banyak diekspor ke Jawa, maka pada zaman Dinasti Ming di Cina (1368-1644), terjadi keguncangan moneter akibat langkanya uang kecil. Akhirnya pemerintah Ming melakukan larangan ekspor uang Ch’ien ke luar negeri, termasuk ke Jawa. Sebagai gantinya VOC mengimpor koin-koin kepeng dari negara-negara lain, seperti Jepang, Korea dan Vietnam. Tahun 1723 Jepang akhirnya menghentikan ekspor uang cash.

Sebagai pengganti uang Chien yang dilarang diekspor oleh Kaisar Ming, pada sekitar 1590 mulai beredar koin-koin picis dari timah atau timbal (lead). Uang picis ini dibuat di Cina, diangkut bersamaan dengan kedatangan kapal-kapal Jung dengan berat rata-rata 200-300 ton. Kapal-kapal tersebut sebanyak 15-20 kapal setahunnya, datang pada bulan November atau Desember, dan akan kembali ke Cina pada bulan Juni tahun berikutnya, dengan membawa rempah-rempah yang dibelinya dari Banten. Sebanyak 12-13 ribu picis seharga satu dollar Spanyol, yang dapat membeli merica sebanyak 8 kantong. Di Indonesia, hanya Bali yang tetap menggunakan koin cash Cina dalam bertransaksi, bahkan masih dipakai sampai dengan pada tahun 1950.


B. Perdagangan dengan VOC (1602-1799)

Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman, dan mendarat di pelabuhan Banten. Mereka membawa koin-koin perak untuk dipakai membeli rempah-rempah, baik yang dinamakan Real Batu ataupun Real Bundar. Namun mereka kecewa karena uang yang dipakai di Banten adalah picis-picis dari timbal.

Dari ekspedisi awal ini akhirnya dua perusahaan Belanda, yaitu United Amsterdam Company (1594-1602) dan United Zeeland Company (1597-1602), ikut meramaikan pencarian rempah-rempah ke wilayah Nusantara. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna dipakai sebagai alat pembayaran, dengan tahun 1601/1602. Perlombaan mencari rempah-rempah ini akhirnya menimbulkan persaingan usaha, yang pada akhirnya malah merugikan bisnis mereka sendiri. Pada bulan Maret 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah perusahaan dagang baru yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).

Karena seringnya terjadi kekosongan mata uang kecil, maka tahun 1726 VOC meminta kepada induknya di Belanda untuk dibuatkan koin-koin bernilai kecil, yang disebut Dute, Doit atau Duit. Duit VOC ini dinyatakan tidak berlaku di negeri induknya Belanda, dan hanya diedarkan untuk daerah-daerah dimana VOC berada. Namun peredaran duit tembaga ini cukup luas karena diedarkan juga di wilayah-wilayah Coromandel, Cochin, Malaka dan Ceylon.

Pada tahun 1743, VOC melakukan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak mata uangnya sendiri. Uang yang dicetak ini dikenal dengan nama “Derham Djawi” atau “Java Ducat” atau “Gold Rupee” (untuk koin emas), dan “Silver Java Rupee” (untuk koin peraknya).

Koin yang pertama kali dibuat VOC di percetakan uang di Batavia adalah Dirham Jawi dengan tahun 1744. Pada bagian muka terdapat tulisan dalam bahasa Arab: “Ila djazirat Djawa al-kabir”, sedangkan di bagian belakangnya : “Derham min Kompani Welandawi”. Yang artinya : “Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar”.

Pada tahun 1799 VOC akhirnya dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda, dan dimulailah babak baru masa penjajahan Belanda yang sesungguhnya.


C. Emergency coins atau mata-uang darurat

Mata uang darurat dibuat bila tidak tersedianya uang pecahan kecil dalam jumlah yang mencukupi. Hal ini terjadi jika tidak adanya kiriman koin-koin Duit dari Belanda, atau belum datangnya jung-jung Cina yang biasa menyuplai koin-koin picis.

Salah satu bentuk uang darurat adalah yang dinamakan “Bonk”, yang dibuat dengan cara memotong batangan-batangan tembaga Jepang. Potongan tembaga itu dicap pada kedua sisinya dengan berat yang standar, dan dicetak dalam beberapa pecahan, seperti ½, 1 atau 2 Stuiver.

Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan beredar bersamaan dengan Bonk. Pada bagian sebelah muka terdapat lambang VOC dan huruf “N” di atasnya (singkatan dari Nederlansche). Di bagian belakangnya tertulis : 1 Duit 1796 atau 1797. Karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka duit timah itu ditarik dari peredarannya untuk dilebur kembali, yang mengakibatkan duit-duit timah itu menjadi langka sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan 1800. Koin-koin ini terbuat dari campuran dua bahan, yaitu perunggu dari leburan meriam-meriam yang telah rusak, yang dicampur dengan timbal. Pada sisi muka dicetak : JAVA 1799/1800, dan di baliknya dicetak : 1 Stuiver.


4. ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA, PERANCIS, INGGRIS (1800-1942)

A. Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942)

Setelah VOC dinyatakan bangkrut pada tahun 1799, maka pemerintahan Belanda mengambil oper seluruh harta dan kekuasaan VOC. Mulailah zaman pendudukan Belanda di Indonesia dalam arti yang sebenarnya, dimana Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang dulunya tidak terjangkau oleh VOC. Tahun 1825-1830 di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul perang besar yang dikenal dengan nama “Perang Jawa” atau “Perang Diponegoro”.

Akibat perang yang berkepanjangan ini, kas Belanda menjadi kosong. Untuk memenuhi pundi-pundinya, maka van den Bosch memperkenalkan apa yang disebut dengan “Cultuur Stelsel” atau “Tanam Paksa”. Dalam periode ini, dicetak berjuta-juta keping mata uang dengan pecahan Satu dan Dua Sen.

Koin perak 2.5 Gulden baru dibuat pada tahun 1840 setelah dilakukan standarisasi pada mata uang pada pemerintahan Raja Willem I. Berbagai macam mata uang baik emas, perak, dan tembaga juga dibuat pada masa-masa pemerintahan Raja Willem II, Willem III, atau Wilhelmina.

Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849), percetakan uang di Batavia dan di Surabaya ditutup untuk selama-lamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan Surabaya pada akhir tahun 1843. Dengan ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka sejak saat itu semua mata uang dikirim langsung dari negeri Belanda.

Pada zaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20 Gulden (Kelip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali setelah cetakan kedua tahun 1855. Koin-koin Sen dari tembaga juga dicetak, dengan pecahan 1 dan 2 ½ Sen. Pada masa-masa inilah koin cash Cina mulai ditinggalkan pemakaiannya. Koin tembaga 2 ½ sen disebut sebagai uang “Gobang” atau “Benggol”, dan mempunyai fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat “Kerokan”.

Pada waktu bertakhtanya Ratu Wilhelmina (1890-1948), timbul perang dunia kedua, dimana tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga kerajaan termasuk Ratu Wilhelmina lari ke Inggris dengan memakai kapal kargo. Di tempat pelariannya itu, Ratu membentuk “pemerintahan dalam pengasingan”. Pada masa perang itu, koin-koin tahun 1941-45 dicetak di Amerika, dengan tambahan huruf kecil pada bagian belakang bawah. Huruf “D” adalah singkatan dari “Denver” (1943-1945); “P’ adalah “Philadelphia” (1941-1945); dan “S” untuk “San Francisco” (1944-1945). Pada tahun 1945, setelah kekalahan Jerman, Ratu kembali ke negerinya Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara jajahannya di bagian timur telah memproklamasikan kemerdekaannya menjadi Republik Indonesia.


B. Pendudukan Perancis (1806-1811)

Pada tahun 1806, Perancis menduduki Belanda, yang menyebabkan transfer kekuasaan atas seluruh wilayah yang diduduki Belanda. Karena pendudukan Perancis dilakukan di negeri Belanda, maka pengaruh secara langsung terhadap pendudukan Indonesia sangat kecil sekali. Seluruh kontrol pemerintahan di Indonesia tetap dipegang oleh orang-orang Belanda. Tahun 1806 Napoleon mengangkat saudaranya Louis sebagai raja di Belanda. Pada masa itu koin-koin Perancis 2 Stuivers (Sols) dan 1 Stuiver (12 Deniers) ditetapkan berlaku di wilayah Hindia Belanda.

Pada tahun 1808 H.W. Daendels datang untuk menempati posnya sebagai Gubernur Jendral yang baru di Hindia Belanda. Daendels memerintahkan agar koin-koin dicetak dengan nama raja L.N. (Louis Napoleon), baik dengan huruf Blok maupun dengan Hiasan (Ornate). Tahun 1809 Daendels memerintahkan untuk membongkar seluruh tembok-tembok yang mengelilingi Batavia, termasuk puri-purinya, serta menimbun parit-parit yang ada di sekeliling kota. Daendels juga membuka percetakan mata uang yang baru di Surabaya, yang mengakibatkan percetakan uang Batavia menjadi mandeg.

Adapun koin pertama yang dicetak di Surabaya adalah duit tembaga dengan tulisan “JAVA 1806” serta lambang VOC di baliknya. Walaupun tertera tahun 1806, namun koin itu sendiri baru dicetak pada bulan Februari 1807.

Pada tahun 1811 Inggris menginvasi Jawa, dan berhasil mengalahkan Belanda. Mulailah babak baru pendudukan Inggris terhadap Indonesia selama lima tahun ke depan.


C. Pendudukan Inggris (1811-1816)

Pada tanggal 4 Agustus 1811, kapal-kapal Inggris mendarat di teluk Batavia, yang akhirnya dapat merebut Jawa, sehingga Belanda harus menyerahkan koloninya kepada Inggris. Berbeda dengan pendudukan Perancis terhadap Belanda, pendudukan Inggris dilakukan secara langsung, dimana wilayah Nusantara berada dalam kekuasaan Inggris. Untuk pertama kalinya diangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal.

Satu seri koin menarik yang dicetak pada masa pendudukan Inggris adalah koin Java Rupee yang terbuat dari emas dan perak. Pada bagian depannya ditulis dalam bahasa Jawa kuno, “Kempni Hingglis, jasa hing Sura-pringga. Tahun Ajisaka AS 1741”. Sedangkan di baliknya tertulis dalam bahasa Arab Melayu : “Hinglish, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar djazirat Djawa”.

Semua koin pada masa pendudukan Inggris dicetak di Surabaya, kecuali koin-koin darurat Doit Java dari timah murni Bangka dengan tahun 1813 dan 1814, yang dicetak di Batavia. Setelah kekalahan Napoleon di Eropa, maka berdasarkan perjanjian Wina tahun 1814 Inggris harus mengembalikan Jawa dan daerah lainnya kepada Belanda. Penyerahan koloni itu sendiri baru dilaksanakan Inggris pada tanggal 16 Agustus 1816.


D. British East India Company di Sumatera

Inggris mempunyai pusat perdagangannya di Bencoolen (Bengkulu), dengan membangun benteng dengan nama “FORT YORK”. Karena benteng dibakar oleh penduduk pada sekitar tahun 1700, maka tahun 1719 Inggris pindah ke benteng barunya yang bernama “FORT MARLBRO” (atau Fort Marlborough).

Pada tahun 1797 Inggris mencetak mata uangnya dengan nilai ½ Dollar, dengan tulisan FORT MARLBRO di sisi baliknya. Lalu pada bulan Maret 1818 ditunjuk Sir Stamford Raffles untuk menduduki posnya yang baru di Bengkulu. Berdasarkan perjanjian tanggal 17 Maret 1824, maka Inggris harus menyerahkan Bengkulu dan semua pendudukannya di pantai barat Sumatera kepada Belanda. Sedangkan Belanda menyerahkan Malaka ke tangan Inggris, dan membolehkan Inggris mendirikan koloni di Singapura.

Para pedagang Inggris di Singapura juga membuat mata uangnya sendiri untuk diedarkan di wilayah Sumatera dan Sulawesi, seperti Keping-keping Minangkabau, Aceh, Tanah Melayu, Uang Ayam, dan sebagainya.


E. Token-token perkebunan dan pertambangan

Pada zaman pemerintahan Belanda, banyak token yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan, tidak hanya di Jawa, Sumatera, Bangka, Kalimantan, bahkan juga di pulau Bacan Ternate. Yang disebut Token adalah mata uang yang biasanya dibuat oleh pihak swasta, dan hanya mempunyai area peredaran yang sangat terbatas. Token hanya berlaku pada area dimana token tersebut diedarkan; di luar area tersebut token sama sekali tidak mempunyai nilai.


F. Mata-uang lainnya

Selain beraneka-ragamnya mata uang yang telah diceritakan di atas, masih banyak mata uang lainnya yang dulu pernah beredar di bumi Indonesia ini. Sejak zaman VOC, Belanda dan Inggris, digunakan juga mata uang asing, seperti uang Spanyol dan dari negara-negara jajahannya seperti Meksiko, Bolivia, Peru, Brasil, dll, juga dari negara-negara India, Persia, Austria, Amerika, Cina dan Jepang (mata uang perak modern), Hong Kong, Sarawak, Straits Settlements, dll. Kesemua mata uang di atas sampai sekarang masih dapat ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia.


5. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)

Pendudukan Jepang di Indonesia hanya berlangsung selama tiga setengah tahun. Jepang banyak mencetak mata uang kertas, dan hanya satu seri koin yang dicetak, yaitu pecahan 1, 5 dan 10 Sen. Semuanya dicetak dengan tahun Jepang 2603 dan 2604 (1943 dan 1944 Masehi), yang dituangkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Militer Jepang No. 2 tertanggal 8 Maret 2602 (1942). Koin pecahan 1 dan 5 Sen terbuat dari Aluminium, sedangkan koin nominal 10 Sen terbuat dari timah. Pada koin-koin nominal 5 dan 10 Sen, di bagian muka terdapat gambar Wayang, sedangkan nominal 1 Sen terdapat gambar kepala wayang. Di bagian belakangnya terdapat tulisan Jepang, JAVA, Nominal (Sen), dan tahun Jepang 2603/04.


6. ZAMAN PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA (1945- ---)

Pada tahun-tahun awal setelah proklamasi kemerdekaan, banyak dicetak uang kertas seri ORI (Oeang Repoeblik Indonesa), dan uang-uang darurat yang dicetak oleh daerah-daerah (URIDA), tanpa satupun dicetak koin-koin sebagai mata uang.

Koin Indonesia dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Koin ini terbuat dari aluminium dengan pecahan 5 Sen, dengan lubang pada bagian tengahnya. Koin aluminium pecahan 10 Sen (tanpa lubang) dengan gambar Garuda dicetak pada tahun 1951 juga. Berikutnya pada tahun 1952 dicetak koin-koin dengan pecahan 1 Sen (yang mempunyai desain sama dengan pecahan 5 Sen bolong) dan pecahan 25 Sen. Pada tahun yang sama juga dicetak koin dengan pecahan 50 Sen dengan gambar Dipanegara.

Seri koin-koin dengan gambar Sukarno juga dicetak untuk peredaran khusus di Kepulauan Riau. Koin-koin dengan tahun 1962 (dicetak tahun 1963) ini terbuat dari aluminium, dan terdiri dari pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 Sen. Koin-koin ini ditarik dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 30 September 1964. Pada pinggiran semua koin seri Kepulauan Riau ini, tertera inskripsi “KEPULAUAN RIAU”.

Pada masa pembebasan IRIAN BARAT, juga dicetak koin-koin seri Sukarno yang dicetak khusus untuk peredaran di Irian Barat, dan semuanya bertahun 1962 (dicetak tahun 1964). Namun akhirnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Desember 1971.

Pada masa pemerintahan Suharto (1967-1998), banyak sekali koin-koin menarik yang dicetaknya, seperti koin-koin peringatan 25 tahun kemerdekaan, seri-seri binatang, koin-koin emas, dll.


PATOKAN NILAI TUKAR MATA UANG ZAMAN DULU
  • 1 Silver Dukaton = 3 Gulden = 60 Stuiver = 240 Duit
  • 1 Gulden = 20 Stuiver = 80 Duit.
  • 1 Dirham emas / Dirham Jawi = 16 Silver Rupee (atau = 16 Gulden)
  • 1 Stuiver = 4 Duit

ISTILAH-ISTILAH MATA UANG
  • 2 ½ Gulden = Ringgit
  • 1 Gulden = Rupiah
  • ½ Gulden = Ukon
  • ¼ Gulden = Talen atau setalen
  • 1/10 Gulden = Ketip
  • 1/20 Gulden = Kelip

Kamis, 18 Juni 2009

Mata Uang Kuno dan Sumber Sejarah


Oleh: Trigangga


Kehadiran mata uang khususnya di Nusantara (Indonesia) adalah akibat dari aktivitas perdagangan yang semakin kompleks, yang mana diperlukan alat tukar barang yang praktis, mudah dibawa, tahan lama dan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Letak geografis kepulauan Indonesia yang strategis menjadikan kepulauan Indonesia sebagai salah satu jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan dunia barat dan timur. Pedagang-pedagang dari berbagai bangsa, terutama dari India dan Cina, dalam pelayarannya terkadang harus singgah di pelabuhan karena menunggu badai reda misalnya, atau memang menjalin hubungan dagang dengan penguasa-penguasa di berbagai daerah di Indonesia.

Bukti bahwa kepulauan Indonesia pernah dikunjungi pedagang-pedagang asing dapat diketahui dari sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan kronik asing, juga tinggalan-tinggalan arkeologis berupa mata uang. Di dalam prasasti Telaga Batu, salah satu peninggalan kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7, dijumpai istilah dalam bahasa Sansekerta, vaņiyāga yang artinya ‘saudagar’ atau ‘pedagang’. Inilah prasasti pertama yang menyebutkan kata ‘pedagang’ di Indonesia. Istilah vaņiyāga ini kemudian muncul dalam prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuna menjadi banyaga, dan diadopsi menjadi kata bahasa Indonesia, berniaga, padanan kata dari ‘berdagang’.

Keterangan dari berbagai prasasti memberi petunjuk bahwa ada kelompok orang asing yang mungkin berprofesi pedagang dan dikenai kewajiban membayar pajak, disebut sebagai wargga kilalān. Mereka adalah orang-orang India yang berasal dari berbagai daerah dan suku bangsa seperti Kalingga (kling), Arya, Drawida, Karņataka, Pandya-Chera (pandikira), juga dari Vietnam (campa), Kamboja (kmir) dan Srilangka (singhala). Kehadiran orang-orang Cina belum disebut di dalam prasasti-prasasti abad ke-10--12, namun kronik Cina sendiri telah memberitakan kehadiran seorang musafir Cina bernama Fa-hsien yang pernah singgah di Jawa pada tahun 414.

Kronik-kronik Cina merinci komoditi ekspor dari kepulauan Indonesia, khususnya Jawa, yang membuat pedagang-pedagang asing datang antara lain cengkeh, pala, merica, kayu cendana, gaharu, kapur barus, kapas, garam, gula, gading gajah, cula badak, dan lain-lain. Adapun barang-barang impor untuk konsumsi di Jawa yang utama adalah sutera, kain brokat warna-warni dan keramik. Sebagai contoh, di dalam prasasti ada disebutkan satu barang yang mungkin sekali diimpor yaitu wdihan buat kling atau kain buatan negeri Kalingga (India).

Pedagang-pedagang asing tersebut ketika mengadakan transaksi dagang dengan penduduk lokal menggunakan mata uang yang dibawa dari negerinya masing-masing. Akibatnya banyak mata uang asing dari berbagai negara beredar di kepulauan Indonesia. Hubungan dagang yang intensif dengan India dan Cina lambat laun mendatangkan inspirasi bagi penduduk lokal atau penguasa suatu kerajaan di Jawa untuk membuat mata uang sendiri.

Prasasti-prasasti biasanya menyebut satuan mata uang emas dan perak yang beradar di Jawa mulai dari ukuran yang terbesar sampai terkecil dalam bentuk singkatan. Satuan mata uang emas dari yang terbesar hingga terkecil adalah kāti, suwarņa, māsa, kupang, dan sātak. Sedangkan satuan mata uang perak adalah kāti, dhāraņa, māsa, dan kupang. Semua satuan mata uang tersebut menunjukkan ukuran berat benda. Ini dapat diketahui dari inskripsi-inskripsi singkat pada benda-benda berupa wadah emas yang ditemukan di desa Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah. Pada bagian dasar sebuah mangkuk besar contohnya, tertera tulisan tatur brat su 14 mā 15 sā 3 dalam huruf Jawa Kuna, artinya “emas berat 14 suwarņa 15 māsa 3 sātak”. Jadi jelaslah bahwa mata uang emas dan perak itu dinilai berdasarkan berat benda (nilai intrinsik). Segala transaksi perdagangan, khususnya barang yang bernilai besar, dibayar dengan uang emas atau perak dengan berat yang telah ditentukan.

Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di situs kota Majapahit, kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari māsa) dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuna. Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 – 2,5 gram.

Uang “Ma” perak dengan tulisan Nagari dan uang “Ma” emas dengan tulisan Jawa Kuna (kol. Museum Nasional)

Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segiempat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali. Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau segiempat [gambar 2]. Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.

Potongan-potongan logam emas yang digunakan sebagai alat tukar (kol. Museum Nasional)

Mata uang dengan satuan-satuan tersebut di atas, terutama māsa dan tahil, tampaknya terus dipakai hingga awal munculnya kerajaan Majapahit. Di dalam prasasti Tuhanyaru tahun 1245 Saka (1323 M) uang “Ma” perak masih disebutkan sebagai benda sesaji bersama pakaian. Kronik Cina dari zaman Dinasti Ming (1368 – 1643) mencatat bahwa uang tahil emas masih digunakan di Jawa. Diberitakan bahwa pada waktu terjadi perang saudara di kerajaan Majapahit tahun 1405, sekitar 170 orang Cina ikut terbunuh dalam kerusuhan itu. Meskipun raja Majapahit kemudian meminta maaf atas kejadian itu, kaisar Cina tetap menjatuhkan hukuman denda sebesar 60.000 thail (=tahil) emas.

Satu hal yang patut diketahui bahwa dalam periode Majapahit mata uang emas dan perak tidak begitu sering lagi disebutkan di dalam prasasti dan naskah. Sebagai gantinya adalah mata uang tembaga, timah dan kuningan yang memang banyak digunakan pada masa itu. Yang terakhir ini dapat diidentifikasikan sebagai uang lokal Majapahit dan kepeng Cina.

Pada abad ke-14 semakin banyak orang Cina yang datang ke daerah-daerah yang menjadi wilayah kerajaan Majapahit dengan tujuan berdagang. Di antara mereka ada yang tinggal menetap dalam jangka waktu cukup lama. Banyaknya orang Cina yang bermukim di wilayah kerajaan Majapahit memunculkan profesi baru yang dikenal dengan istilah juru cina. Istilah ini kerap muncul di dalam prasasti-prasasti Majapahit yang memuat daftar para mangilala drawya haji, yaitu pegawai kerajaan yang tinggal di dalam lingkungan tembok kota. Tugas juru cina mungkin berurusan dengan orang-orang Cina yang datang dan menetap di ibukota kerajaan Majapahit atau di berbagai tempat lain di wilayah kerajaan Majapahit di Jawa. Di antara mereka tentunya ada yang bertugas sebagai penerjemah jika ada utusan-utusan Cina datang membawa pesan dari kaisar. Bukan tidak mungkin kalau juru cina ini dijabat oleh orang Cina yang sudah lama menetap di sini dan diminta bantuannya sebagai penerjemah bagi raja Majapahit.

Relief pedagang pada sebuah panel relief candi Tigawangi, Kediri, Jawa Timur (abad ke-14)

Di dalam buku Ying-yai Shêng-lan atau “Laporan Umum tentang Pantai-pantai Lautan” yang diterbitkan pada 1416 oleh Ma-Huan, dikatakan bahwa orang-orang Cina yang tinggal di kerajaan Majapahit berasal dari Canton, Chang-chou dan Ch’üan-chu. Mereka kebanyakan bermukim di Tuban dan Gresik menjadi orang kaya di sana. Tidak sedikit penduduk pribumi yang menjadi orang kaya dan terpandang. Dalam transaksi perdagangan penduduk setempat menggunakan uang tembaga (kepeng) Cina dari berbagai dinasti. Pernyataan terakhir ini mengindikasikan bahwa penduduk pribumi tidak mengerti tulisan Cina yang tertera pada kepeng itu sehingga mau menerima uang Cina dari dinasti mana pun (Dinasti Tang, Song, Yuan) yang mungkin tidak berlaku lagi di negeri asalnya.

Penggunaan kepeng Cina atau uang lokal Majapahit ditunjukkan dalam istilah pisis (Jawa Kuna) yang artinya ‘uang’. Istilah ini pertama kali muncul di dalam prasasti Bendosari (± 1350 M) dari masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, isinya merupakan surat keputusan pengadilan tentang sengketa tanah (jayasong). Pihak Aki Santana Mapanji Sarana bersengketa dengan pihak Sang Apanji Anawung Harsa mengenai status tanah di berbagai tempat seluas 67 lirih. Sang Apanji Anawung Harsa berargumentasi bahwa pihaknyalah yang punya hak atas semua tanah itu karena dahulu, tahun 919 Saka (997 M), kakek buyutnya telah menggadaikan kepada kakek buyut Aki Santana Mapanji Sarana seharga 2½ takar perak, yaitu pada waktu penduduk pulau Jawa tidak menggunakan uang kepeng (duk punang bhumi jawa tan pagagaman pisis). Pernyataan ini menunjukkan bahwa di pulau Jawa, semasa hidup kakek buyut Sang Apanji Anawung Harsa, uang perak masih umum digunakan sebagai alat pembayaran. Ini seperti yang dinyatakan dalam kronik Cina dari zaman Dinasti Song bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan perak sebagai mata uang. Kemudian, di masa hidup Sang Apanji Anawung Harsa uang kepeng sudah umum digunakan.

Di Jawa Timur banyak sekali ditemukan uang kepeng Cina, bahkan dapat dikatakan bahwa kepeng Cina ditemukan di setiap kabupaten di Jawa Timur. Di kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan terdapat koleksi uang kepeng Cina sekitar 40.000 keping. Kepeng Cina tersebut berasal dari berbagai dinasti terutama Dinasti Song dan Ming. Banyaknya kepeng Cina yang beredar pada masa Majapahit diperkuat oleh temuan berbagai jenis celengan terakota di daerah Trowulan, menandakan bahwa tradisi menabung telah dikenal pada masa Majapahit. Di samping uang kepeng Cina, di Museum Trowulan terdapat koleksi uang lokal Majapahit yang disebut gobog dan uang perak. Uang gobog inilah yang mungkin merupakan bentuk tiruan dari kepeng Cina, karena dalam beberapa hal dari bentuk dan hiasan mirip dengan kepeng Cina, walau figur yang digambarkan berciri lokal, mirip wayang kulit.

Uang Gobog

Jika satuan mata uang terdahulu seperti suwarņa, māsa, kupang dan lain-lain mengacu kepada ukuran berat atau kualitas, maka pada masa Majapahit ini satuan mata uang mengacu kepada jumlah atau kuantitas. Di dalam prasasti-prasasti dan naskah-naskah hukum dijumpai berbagai istilah yang menyatakan jumlah uang, antara lain sātak (200 keping), sātak sawě (250 keping), samas (400 keping), domas (400 keping), rong tali (2000 keping), patang tali (4000 keping), salaksa (10.000 keping), sakěţi (100.000 keping), sakěţi rong laksa (120.000 keping), sakěţi něm laksa (160.000 keping), dan rong kěţi (200.000 keping).

Akhirnya, ada beberapa prasasti dari masa Majapahit yang berkaitan dengan penggunaan kepeng ini. Salah satu di antaranya adalah prasasti Paguhan, ditulis pada tiga lempeng tembaga, tulisannya amat besar dan isinya cukup singkat. Terjemahan bebas dari prasasti itu adalah sebagai berikut: pada tanggal 13 paro terang bulan Asuji tahun 1338 Saka (= 4 September 1416) Paduka Yang Mulia dari Talonan menyetujui pembelian (?) untuk kepentingan Baţara di Paguhan yang meninggal di Pramalaya, diterima oleh para angucap gawe (nama jabatan) di Gědong Dingdiwa. Mereka adalah Patih Sěmut, Sang Arya Pagěh, Sang Arya Guna, Patih dari Paguhan, Patih Sirěg, dan Patih Tembeng, menerima sejumlah uang sebesar 200.000 (dua ratus ribu) kepeng.

Apa yang terbayang dari isi prasasti itu adalah suatu serah terima pembelian (waruk) yang sayang tidak disebutkan objeknya, mungkin sebidang tanah. Jika yang dimaksud adalah sebidang tanah, mungkin tanah itu hendak dijadikan sima, kemudian hasilnya dipersembahkan untuk dewa atau arwah leluhur yang dipuja di bangunan suci. Yang menarik perhatian dari prasasti ini adalah jumlah uang yang diterima keenam pejabat tersebut sebanyak 200.000 keping, ditulis dengan angka dan huruf (terbilang) sampai dua kali. Cara penulisan yang demikian mirip dengan cara pengisian selembar kuitansi pada masa sekarang. Kemudian, pada akhir “kuitansi” tersebut tertera hari, tanggal, bulan dan nama (tertanda): Sa[ng] Kawasa.

Jumlah uang 200.000 kepeng adalah jumlah terbesar yang pernah disebutkan dalam prasasti maupun naskah. Dapat dibayangkan uang sebanyak itu ditaruh ke dalam beberapa buah guci, sedikitnya dibutuhkan 10 buah guci ukuran sedang (ukuran ±40 cm). Sering terdengar berita tentang temuan mata uang dalam guci, baik ditemukan dalam keadaan utuh maupun sudah pecah berantakan.

Trigangga
Pernah menjabat Kurator Numismatik Museum Nasional

Kamis, 16 April 2009

Koleksi Numismatik dan Heraldik Museum Nasional


Koleksi Numismatik dan Heraldik terdiri dari benda-benda seperti koin, uang kertas dan token yang pernah beredar dan digunakan oleh masyarakat. Di samping itu terdapat alat cetak uang dan medali. Koleksi Numismatik Museum Nasional sebagian besar berasal dari masa kerajaan-kerajaan Indonesia kuna, masa kolonial (Belanda, Portugis, Inggris dan Jepang) hingga masa kemerdekaan Indonesia. Selain koleksi numismatik dari dalam negeri, juga terdapat koleksi numismatik yang berasal dari negara-negara di benua Asia, Eropa, Afrika, Amerika, dan Australia. Sedangkan koleksi Heraldik yang dimiliki Museum Nasional adalah lambang-lambang seperti medali/tanda jasa, cap/stempel, dan amulet.


Uang “PITIH TEBOH”

Uang ini berbentuk segi delapan dengan lubang bundar di bagian tengah, terbuat dari timah dengan berat 1,44 gr. Uang ini berasal dari Palembang, Sumatra Selatan. Salah satu sisinya tertera tulisan Arab, dibaca “Haza fulus fi Balad Palembang-1219”. Dari angka tahun Hijriyah yang tertera 1219 (=1804 Masehi), uang ini beredar pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin.
No. Inv. 12991


Uang “KASHA”

Uang berbentuk bundar dengan lubang berbentuk segi enam di bagian tengah ini terbuat dari kuningan mempunyai berat 3,57 gr. Uang ini berasal dari masa Kesultanan Banten, abad ke-16 M. Pada salah satu sisinya tertera tulisan Arab berbahasa Jawa, dibaca “Pangeran Ratu Ing Banten”, gelar Sultan Maulana Muhammad yang memerintah di Banten pada tahun 1580-1596.
No. Inv. 13621


Medali JP Coen

Perunggu
Belanda
Tahun 1937
No. inv. 13344
Medali tanda penghargaan 350 tahun kelahiran Jan Pieter Zoon Coen (1587-1937), pendiri kota Batavia, Hindia Belanda (Indonesia), sebagai Gubernur Jenderal dan meninggal dunia pada tahun 1629. Nama Batavia berasal dari Batavieren, nama suku bangsa nenek moyang bangsa Belanda yang berasal dari Jerman. Nama Batavia kemudian diusulkan oleh Van Raai pada tanggal 12 Maret 1619.

(disunting dari Museum-nasional.com)

Perlengkapan Numismatik

Perlengkapan Numismatik

Rupiah dan ORI

Buku Palmistri dan Fisiognomi

Buku Astrologi dan Feng Shui

Buku Numerologi, Grafologi, dan Frenologi

Buku Arkeologi dan Prasejarah

Kontak Saya

Nama :
Email :
Subjek :
Pesan :
Tulis Ini :